Minggu, 15 April 2012

KUMPULAN PUISI

Unknown



PUISI-PUISI D. ZAWAWI IMRON DALAM BUKU "REMBULAN TERTUSUK LALANG"



DARI KANDANG KE LADANG
Buat Amang Rahman

Sekitar kandang itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung jangkauan
menyiduk-nyiduk gelegak danau

(Anak-anak lapar menjilat langit biru
membatalkan sujudku semalam penuh
Siang itu cuaca tersiram susu
Mesjidku jadi megah
tegak di delta sungai jiwaku
Di sini ‘kan kuucapkan sejuta bisik
buat mengetuk semesta pintu)

Dari kandang itu ke ladang
berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha dalam
tempat mencuci perasaan

            1978

PEMANDANGAN

Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,
awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku menghiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari.
Di tengah lau namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana,
tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?
1978


PADANG HIJAU

Sejuk pun singgah
memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalan lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai

Diamku membuat air laut tersibak
“Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
mencari sarang angin”

Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah

Padang hijau berpusar telaga
letaknya di jantung Bunda

                                    1978


KERAPAN

1
Seronen itu ditiup orang[*]
darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi
sarapan siang
biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkat
orang ke sampan

sampai kapan ya, ujung lalang itu menyentuh awan?
ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang
tapi ekorku panjang disentak anak di bumi
hingga aku turun kembali

2
tanduk yang dibungkus beludru itu jangan dibuka, nanti matahari
pecah olehnya
mendung, wahai mendung!
jangan curahkan tangismu
sebelum daun jati sempurna ranggasnya
maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul
dan kalau putus nadimu, jangan khawatir
denyurmu akan terus hidup di laut

3
Sepasang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis
kemenangan
arya wiraraja! perlukah aku menang?
aku meloncat dan terjun di lapangan aku tertidur dan mimpiku aneh,

kuterima piala
berupa sebuah tengkorak
yang dari dalam
berdentang suara lonceng
4
sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis
suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
larimu kencang melangkahi rindu sehigga topan senang
mengecup dahimu
jangan mungkir, bulan telah tidur dalam hatimu
bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu
bila kau tak sanggup berpacu lagi
dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu

5
seronen itu masih saja ditiup orang
embun terangkat, kaki-kaki mengalir
dari saujana ke saujana
tuhan!
tanah lapang itu tak seberapa jauh

                                                1978

TANGAN

yang sulur ke dalam angan
lalu melompat dari nilai ke nilai
yang terulur sebagai tangan
lalu mengusap jidat bangkai demi bangkai

tangan yang bersayap akan terbang seakan burung
kali ini ia datang
dua butir kelereng yang digenggam,
-- ini biji mata si penyandang gelar
yang bertahun-tahun terlelap –

                                    1978

TAPAL BATAS
            Buat Zaihasra di Malaysia

kita yang hidup
menjaga langit yang bakal retak
juga mengejar
derai-derai daunan basah

bisakah kita bertemu
di padang tandus itu?
senyum dan salju belum sampai ke sana

mungkin akulah itu
yang bergerak mendekati tapal batas itu
tepat di tugu yang kaudirikan
kuingin kekhidmatan sejenak
menjabat tanganmu di sisi sarkopagus itu
sebelum otopsi kita mulai

                                    1978


SUNGAI MERAH

dari kembang lalang itu bergegas wangi
ekor angin melecut laut
langint pingsan
oleh suara parau darahku

padang itu tempat berburu kata-kata
di dadanya ada sungai berair merah
o, sungai yang jauh ke teluk abadi!
katakanlah! thales kutunggu di sini
untuk menyelesaikan perhitungan baru
kerikil-kerikil yang bermukim dalam empedu
telah kutanam di tepi sungai
jadi pohon-pohon keajaiban

pada kembang pohon-pohon itulah
berdentuman isi hatiku
air sungai melarikan cerita
ekor angin menjerat leherku
dari mulutku terloncat firmanmu
--sesuatu yang tak mungkin binasa—

                                    1978



DI SEBUAH TIKUNGAN

Di sebuah tikungan aku bertemu seseorang, sambil
menyebutkan namannya yang tak mungkin kuhapal
ia mengulurkan tangan
Tapi tangan kananku sedang kutinggalkan di rumah
menepuk-nepuk paha anakku yang hendak tidur,
terpaksa kuulurkan tangan kiriku
Orang itu marah, seketika tangannya berubah menjadi
cakar harimau, dengan kuku-kukunya yang tajam
bersiap untuk menerkam
Aku lari. Begitu ia mengejarku dan mengejarku, untunglah
segera kutemukan tempat aman dalam kidung yang disenan-
dungkan ibuku setiap larut malam

                                                1978

CAPUNGKU

capungku, terbanglah ke mana kaumau!
kau yang menetas dari telur gelisahku
kibaskan sayap-sayapmu
dan pergilaha!
milikmu kolam biru
di samping pusara kakekku

capungku, kepiting di rongga dadaku
telah pindah dari paru-paru ke empedu
namun aku masih menunggu
kata-kata lahir dari rumput dan kerdip lampu
tersusun dalam lagu dengan getar yang sungguh

                                                1978

PADANGKU

mengintip dari lubang kunci penjara
di luar ada gumpalan-gumpalan awan perada
berangkat dari kening bunda
sesudah disujudkan ke lantai magma

“bunyi rahasia itu akan terdengar, anakku!
seperti daun nyawa terlepas dari tangkai
ikutlah, kalau seseorang di tengah malam
mengajakmu berlayar ke tasik hitam
bersampan angin, dengan dayung daun lalang
di sana, dari jejak adam
setetes embun menanggung perih samudera”

mengintip dari lubang kunci penjara
padang ramai dengan sapi yang berpacuan
menuju umbul-umbul di cakrawala
ah, padangku yang luas tujuh kalinya
kurentang di dasar dahaga

                                                1978

BAYANG-BAYANG

selalu ia menolak
tiap kuajak
bicara arti lenyap

ketika lampu padam
ia hanya berpesan,
“aku akan mandi
tunggulah aku!
sambil engkau berbekam
di sini”

                                    1978

SEEKOR SEMUT

Seekor semut menyeberang jembatan baja, rahasia berkibar di langit meniru gerak bendera. Udara menderu.
Ketika hujan tercurah, ia sudah sembunyi di ketiak rusuk jembatan. Di situ ia tegakkan satu waktu sendiri pun tak mencatatnya. Tiba-tiba ia berjalan dengan langkah yang sederhana serta tak dihiraukannya cemas-cemas rembulan berhinggapan di pundak-pundak manusia.

1978

SAJAK BUAT KAU

Di sinilah hujan itu menggali jurang yang membuat kau adalah kau dan aku adalah aku. Di balik rumpun bunga mata Sartre tajam padaku. Sehabis bersutubuh denganmu sadarlah aku, sebab tanpa kau aku hanyalah batu. Sesudah itu kepastian menumbuhkan pohon-pohon berkabut dan ludahmu yang tak kusengaja tertelan masuk perutku akan kekal bersama rohku.
1978


PESONA ITU MELOMPAT

pesona itu melompat
dari pematang ke pematang
(seperti kupu-kupu yang ditangkap
anak di tanam
menabur serbuk-serbuk sanubari)
laut melambai
ketenteraman

--siapakah engkau?—
tanya roh kepada badan
badan pun lalu menari
sedang roh memukul gendang
sekali gus melagukan nyanyian

pesona itu melompat
dan terus melompat
melumat-lumat kenyataan

                                    1978


NAGASARI

membuka kulit nagasari
isinya bukan pisang madu
tapi mayat anak gembala
yang berseruling setiap senja

membuang kulit nagasari
seorang nakhoda memungutnya
dan merobeknya jadi dua
separuh buat peta
separuh buat bendera kapalnya

                                    1978


BUNGA

Adakah kaudengar sekian bunga menangis dalam rangkaian, meronta dari sekian kepalsuan? Dunia masih tetap, tapi manusia sudah demikian jauh berjalan sehingga jejak-jejaknya menenggelamkan sebuah pulau. Kalau aku menanam bunga, bukanlah satu permakluman. Kalau tidak, ke manakah embun hendak bersinggah, kerena pagi merupakan sumber seluruh nilai? Jangan menyesal menghadiri upacara pemakaman dengan sekian bunga menjerit dalam rangkaian. Dalam berdoa tetap kita waspada, ada sekian hunus belati di belakang nyanyian.

1978

NYANYIAN TANAH GARAM

angin yang diluluhkan bauan wangi
barangkali tak akan mampu
menghitung kerikil-kerikil sepi
perih ya, perih!
adakah duri di semak rindu?

aduh, paman!
kudaki punuk pundak sapimu
dengan secawan nira di tangan
untuk mengisi ruas nyawaku
wahai, bulan betah mengasuh kemarau
dari ekor bintang yang semalam gemetar
bisa diduga, siapa yang harus dilecut
agar bangkit kejantanan
umbul-umbul berlukis wayang
sudah tegak di sudut ladang

dan sebagai anak dunia
lagu lebah kuresapkan
dan sebagai anak madura
kugali kubur sebelum berperang

                                                1978


BULAN TERTUSUK LALANG

bulan rebah
angin lelah di atas kandang

cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian

                                    1978


GADIS

bahkan mataangin juga pun rimba
senang memeram wangi rambutnya
maka kebisuan pun
meminta seribu duga

kembang turi yang dipungutnya
dulu ketika paceklik tiba
telah mekar pada mata
dengan akar minum ke jantung telaga

bintang apa bergumpal di tenggara?
malam-malam bujang haus
bersandar di pohon siwalan
pagi datang, ranum-ranum buah mangga

bahkan mataangin juga pun rimba
setia menjaga jejak kakinya
tanah coklat musim penghujan
diam-diam minta disungkal

                                    1978


[*] Seronen = serunai untuk mengiringi kerapan sapi di Madura

0 komentar:

Posting Komentar

 

Teknologi

Resources