INDIKATOR ANAK BERBAKAT
Orang tua mana yang tak ingin punya anak berbakat? Bagaimana, sih, cara
mendeteksi bakat si cilik? “Anak sulung saya luar biasa aktif. Dia juga pintar
dan suka sekali bertanya. Kadang, pertanyaannya bikin kami kewalahan.
Teman-teman saya bilang, si sulung termasuk anak berbakat,” tutur Andika, ayah
dua anak tentang putra sulungnya yang berusia 4 tahun. Banyak orang dengan
mudah menyimpulkan si A, si B, atau si C anak berbakat. Entah karena ia selalu
jadi juara kelas, juara lomba, dan sebagainya. Bahkan, anak yang belum pernah
menunjukkan prestasinya di bidang tertentu pun, sering dikatakan anak berbakat.
Misalnya, suaranya merdu saat menyanyi. Sebenarnya, seperti apa sih, yang
dimaksud anak berbakat?
Beda Pintar
& Berbakat
Menurut pakar
psikologi pendidikan, Prof. Dr. S.C. Utami Munandar, anak berbakat berbeda
dengan anak pintar. “Bakat berarti punya potensi. Sedangkan pintar bisa didapat
dari tekun mempelajari sesuatu,” jelasnya. Tapi meski tekun namun tak
berpotensi, seseorang tak akan bisa optimal seperti halnya anak berbakat.
“Kalau anak tak berbakat musikal, misalnya. Biar dikursuskan musik sehebat apa
pun, ya, kemampuannya sebegitu-begitu saja. Tak akan berkembang.” “Sebaliknya,
jika anak berbakat tapi lingkungannya tak menunjang, ia pun tak akan
berkembang.” Soal bakat musik tadi, misalnya. Jika di rumah tak ada alat-alat
musik, bakatnya akan terpendam,” jelas guru besar tetap Fakultas Psikologi UI
ini.
Pada anak
hiperaktif, jelasnya,”Konsentrasinya kurang terfokus. Jadi, hanya gerak
fisiknya yang aktif tapi tak menunjukkan kelincahan intelektual. Aktivitasnya
pun sering tanpa tujuan.” Kendati dia suka bertanya, tapi tak berkonsentrasi
pada jawabannya. Konsentrasinya mudah buyar jika ada hal lain yang menarik
perhatiannya. Lain hal dengan anak berbakat. “Jika ia lari ke sana-sini, pasti
ada tujuannya. Jika ia tertarik pada sesuatu, ia akan duduk diam dalam waktu
yang lama, asyik sendiri mengerjakan sesuatu,” terang Ketua Yayasan Indonesia untuk
Pendidikan dan Pengembangan Anak Berbakat ini.
Perkembangan
Lebih Cepat
Bakat anak, lanjut
Utami, berkaitan dengan kerja belahan otak kiri dan kanan. Belahan otak kanan
berhubungan dengan kreativitas, imajinasi, intuisi. Sedangkan belahan yang kiri
untuk kecerdasan. Nah, anak berbakat umumnya menunjukkan IQ di atas rata-rata,
yaitu minimal 130. “Namun tak berarti anak dengan IQ rata-rata, yaitu 90-110,
tak akan berbakat,” tukas Utami. Anggapan orang bahwa IQ menetap seumur hidup,
menurutnya, sama sekali tak benar. “Ada,
kok, anak yang sebelumnya ber-IQ di bawah rata-rata, tapi dengan stimulasi dan
pendekatan yang baik bisa berubah jadi di atas rata-rata,” paparnya.
Tapi IQ bukan
satu-satunya yang menentukan seorang anak disebut berbakat atau tidak. Masih
ada faktor lain lagi, yaitu CQ atau kreativitas, yang juga harus di atas
rata-rata, minimal 250. Selain itu, tambah Utami, “Ia juga harus memiliki task
commitment, yakni kemampuan pengikatan diri terhadap tugas atau motivasi. Jadi,
ada keinginan dan ketekunan untuk menyelesaikan sesuatu.”
Nah, untuk
mendeteksi apakah seorang anak berbakat atau tidak, menurut Utami, bisa dilihat
dari perkembangan motoriknya. Anak berbakat, perkembangan motoriknya lebih
cepat dibanding anak biasa. Entah dalam berbicara, berjalan, maupun membaca.
Misalnya, umur 9 bulan sudah bisa jalan (normalnya, usia 12,5 bulan). Selain
itu, ia juga cepat dalam memegang sesuatu dan membedakan bentuk serta warna.
Untuk kemampuan membaca, kadang anak berbakat memperolehnya dari belajar
sendiri. Yaitu dari mengamati dan menghubung-hubungkan. Misalnya dari
memperhatikan lalu-lintas, teve, atau buku.
Anak berbakat juga
senang bereksplorasi atau menjajaki. “Jadi, kalau ia mempreteli barang-barang,
bukan karena dia nakal tapi karena rasa ingin tahunya,” terang Utami. Tentang
rasa ingin tahu yang tinggi ini, terangnya lebih lanjut, memang pada umumnya
dimiliki anak kecil. Hanya, pada anak berbakat, cara mengamatinya lebih kental
dibanding anak-anak biasa. Hal lain yang menjadi karakteristik anak berbakat
ialah bicaranya bisa sangat serius. Pertanyaannya sering menggelitik dan tak
terduga. Kadang ia tak puas dengan jawaban yang diberikan, sehingga terus
berusaha mencari jawaban-jawaban lain.
Pentingnya
Stimulasi Lingkungan
Meski demikian,
Utami menyarankan orang tua tak lantas mudah melakukan generalisasi.
“Mentang-mentang perkembangan motorik anaknya lambat, lantas dikira tak
berbakat. Belum tentu, lo,” katanya. Sebab, perkembangan setiap anak berbeda. Ada yang cepat dalam
perkembangan bicara dan bahasanya tapi motoriknya lambat, dan sebagainya. “Bisa
saja terjadi, anak yang dulu perkembangan bicaranya lambat, ternyata ketika
besar menjadi sarjana sastra yang terkenal,” ujarnya. Dengan kata lain, meski
perkembangannya lambat, bisa saja nantinya ia berkembang menjadi anak berbakat
dan mengejar ketinggalannya. Hanya saja, hal itu tak akan terjadi dengan
sendirinya. “Semuanya tergantung dari lingkungan. Bagaimana stimulasi
lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan bakat anak,” tukas Utami. Semakin
dini orang tua memberikan stimulasi, akan semakin baik. Misalnya, dengan
mengajak anak bercakap-cakap sejak ia masih bayi. “Banyak orang tua menganggap,
bayi belum mengerti apa-apa sehingga belum perlu diajak bicara.”
Padahal, mengajak
anak sering-sering berbicara sangat perlu. “Itu akan merangsang perkembang
bahasanya dan berarti membuatnya terangsang untuk berbicara,” tutur Utami.
Begitu juga untuk mengembangkan keinginan anak akan eksplorasi. Sejak usia bayi
hal ini sudah dapat dilakukan. Misalnya, tempat tidur bayi tak dibiarkan kosong
melompong, tapi “diisi” dengan mainan gantung yang dapat merangsangnya.
“Sesekali, dekatkan benda-benda yang terang ke dekat matanya agar ia bisa
melihat jelas atau menyentuhnya. Ini sama dengan melatih koordinasi antara
tangan dan matanya,” kata Utami. Selain itu, tambah pakar kreativitas ini, beri
ia kesempatan untuk melatih berbagai keterampilannya. Saat membacakan cerita,
misalnya, “Orangtua tak melulu membaca tapi juga mengajukan pertanyaan agar si
anak terbiasa berpikir kreatif.”
Cukup Alat
Sederhana
Sarana dan prasarana
pendidikan di rumah yang memungkinkan bakat si anak tercium, tentu saja perlu.
Buku bacaan, alat musik/olahraga, atau mainan edukatif, sangat penting. Dari
benda-benda itulah, akan terlihat ke mana bakat si anak. Apakah pada musik,
olahraga, teknik, atau intelektual. “Dari situ juga akan terlihat derajat
besarnya bakat tiap anak.” Memang, aku Utami, tak semua orang mampu membeli
alat-alat musik yang mahal. Untuk mendeteksi bakat musik, tak perlu punya
piano. “Cukup dengan radio atau teve. Dari cepatnya si kecil menghapal nyanyian
bahkan untuk melodi yang sulit-sulit, itu sudah menunjukkan bakatnya,” terang
penulis buku Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah ini. Selain itu,
asalkan orang tua kreatif, alam pun sudah menyediakan berbagai sarana.
Misalnya, membuat mainan dari biji-bijian atau dedaunan. “Sebaiknya dalam
melakukan permainan, orang tua juga ikut terjun bermain. Sehingga anak dapat
menikmati kegiatan itu dan mempunyai kepercayaan diri untuk mengembangkannya,”
kata Utami.
Perlakuan
Khusus
Setelah bakat anak
ditemukan, orang tua seyogyanya memberi peluang pada anak untuk mengembangkan
bakatnya. Yakni, dengan menciptakan lingkungan yang mendorong perkembangan
bakat itu. Seperti sudah disinggung di atas, sekalipun seorang anak berbakat
namun lingkungannya tak mendukung, maka ia tak akan berkembang. “Memang anak
berbakat akan belajar lebih cepat dan melakukan segala sesuatu lebih baik
ketimbang anak biasa, sehingga tampaknya tak perlu mendapatkan perhatian
khusus. Padahal, tidak demikian,” kata Utami. Setiap anak, lanjutnya, entah ia
berbakat atau tidak, punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang menarik dan
menantang. Tapi karena kebutuhan, minat, dan perilaku yang “lebih” dibanding anak
lainnya, mau tak mau, anak berbakat harus mendapatkan pengarahan khusus. Hanya,
Utami mengingatkan, jangan sampai perlakuan khusus itu merugikan. Baik bagi si
anak itu sendiri maupun anak lain. Misalnya, orang tua sering
menonjol-nonjolkan anaknya yang berbakat dibanding anaknya yang lain.
“Dampak buruknya,
ego si anak semakin menghebat dan bisa juga ia rasakan sebagai beban. Sebab,
seperti anak-anak lainnya, ia pun punya masalah emosional,” terangnya.
Sebaliknya bagi anak lain, bisa timbul rasa persaingan antara saudara. “Kok,
dia melulu yang dipuji?” Karena itu, Utami menganjurkan orang tua bersikap tak
menunjukkan si berbakat itu istimewa, tapi lebih pada memberikan
rangsangan-rangsangan istimewa. Sebetulnya, yang paling penting dilakukan orang
tua, kata Utami, “Mencoba menemukan bakat pada setiap anaknya karena
masing-masing anak punya kekuatan tersendiri sehingga anak tak perlu merasa iri
satu sama lain.” Nah, tunggu apalagi? Semakin cepat dan semakin sering kita
memberi rangsangan pada si kecil, bakat terpendamnya pun akan segera kita
temukan.
Ciri-ciri
Intelektual/Belajar
Mudah menangkap
pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir
logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian
tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, senang
dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat,
senang mempelajari kamus maupun peta dan ensiklopedi. Cepat memecahkan soal,
cepat menemukan kekeliruan atau kesalahan, cepat menemukan asas dalam suatu
uraian, mampu membaca pada usia lebih muda, daya abstraksi tinggi, selalu sibuk
menangani berbagai hal.
Ciri-ciri
Kreativitas
Dorongan ingin
tahunya besar, sering mengajukan pertanyaan yang baik, memberikan banyak
gagasan dan usul terhadap suatu masalah, bebas dalam menyatakan pendapat,
mempunyai rasa keindahan, menonjol dalam salah satu bidang seni, mempunyai
pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya serta tak mudah terpengaruh orang
lain, rasa humor tinggi, daya imajinasi kuat, keaslian (orisinalitas) tinggi
(tampak dalam ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya. Dalam pemecahan
masalah menggunakan cara-cara orisinal yang jarang diperlihatkan anak-anak
lain), dapat bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, kemampuan
mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi).
Ciri-ciri
Motivasi
Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu lama,
tak berhenti sebelum selesai), ulet menghadapi kesulitan (tak lekas putus asa),
tak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, ingin mendalami
bahan/bidang pengetahuan yang diberikan, selalu berusaha berprestasi sebaik
mungkin (tak cepat puas dengan prestasinya), menunjukkan minat terhadap
macam-macam masalah “orang dewasa” (misalnya terhadap pembangunan, korupsi,
keadilan, dan sebagainya). Senang dan rajin belajar serta penuh semangat dan
cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya
(jika sudah yakin akan sesuatu, tak mudah melepaskan hal yang diyakini itu),
mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat
yang ingin dicapai kemudian), senang mencari dan memecahkan soal-soal.
( diambil dari artikel yang diposkan oleh eldido
| Senin, 19 Oktober 2008 )
0 komentar:
Posting Komentar