KURIKULUM PEMBELAJARAN FIQIH MADRASAH
TSANAWIYAH PERSPEKTIF PENDIDIKAN HOLISTIK BERBASIS KARAKTER
(Upaya Pembangunan Karakter Bangsa)
Akh. Syaiful Rijal
I
Pendidikan merupakan sarana
yang sangat tepat dalam membangun watak bangsa (national character building).
Dekadensi moral masyarakat sebagai efek dari kekurang-berhasilan pendidikan saat ini dapat kita temui, baik secara langsung maupun
lewat media cetak, elektronik, maupun
internet. Sekedar contoh, korupsi, kekerasan, tindak asusila, budaya hedonisme,
kenakalan remaja, money politic, kebohongan publik, tawuran antar
pelajar, seks bebas, dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin
negeri ini telah banyak mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Gejala kebobrokan sebuah
bangsa sempat juga diungkapkan oleh Thomas
Lickona, disebutkan
bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini
sudah ada maka sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang
dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan
bahasa dan kata-kata yang buruk, (3) pengaruh peer-group (gerombolan) dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku
merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5)
semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7)
semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa
tanggung jawab, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) rasa saling curiga
dan benci antar sesama.
Masalah lain, selain sepuluh
tanda-tanda zaman tersebut, yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini
adalah sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri
(kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati,
dan rasa). Padahal jika dikaji lebih mendalam, mata pelajaran fiqih sebagai
bagian dari pendidikan agama Islam, pada khususnya, sangat relevan sekali untuk
menjawab tantangan kemerosotan karakter di atas, karena pada dasarnya pelajaran
fiqih merupakan suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hukum
Islam dan berbagai macam aturan hidup manusia, baik yang bersifat individu
maupun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Menurut Syaifuddin Sabda,
pilihan pada paradigma pendidikan holistik, apalagi yang mengarah pada
pembentukan karakter bangsa, adalah sebuah keniscayaan karena sejalan dengan
tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
pasal 3. Dari
pasal 3 tersebut, hanya kalimat ”mengembangkan
kemampuan” yang berkaitan dengan konten ilmu pengetahuan sebagai hard-skills, selebihnya berkaitan dengan
pembentukan watak, keterampilan serta kreativitas, berakhlak dan demokratis
yang tiada lain adalah soft-skills.
Dalam
tesis ini penulis membatasi pada analisis konsep pendidikan holistik berbasis
karakter terhadap kurikulum pembelajaran fiqih Madrasah Tsanawiyah yang
direpresentasikan pada pembelajaran fiqih kelas VII Madrasah Tsanawiyah.
Kurikulum di sini tertuju pada analisis standar kompetensi lulusan (SKL) fiqih
madrasah tsanawiyah dan standar isi (SI) berupa standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD) yang berlaku secara nasional pada pembelajaran fiqih
kelas VII yang tercantum dalam PERMENAG nomor 2 tahun 2008 tentang SKL dan SI PAI dan Bahasa Arab di
Madrasah.
Jenis penelitian dalam
tulisan ini termasuk kajian pustaka (library research) dengan pendekatan deskriptif-analitis-kritis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumenter, dan metode yang dapat dipakai dalam menganalisis
data akan menggunakan metode
deskriptif dan conten analisis.
II
Pendidikan holisitik berbasis
karakter merupakan bagian dari model pengembangan pendidikan holistik yang
pendekatannya dikhususkan pada pembangunan karakter dalam diri siswa. Pendidikan
holistik sendiri adalah suatu metode pendidikan dalam membangun manusia secara
keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup
potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter,
kreatifitas, dan spiritual. Dalam implementasinya, spiritualitas dapat
dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara holistik tanpa perlu
mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas itu sendiri.
Pendidikan karakter didefinisikan sebagai pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan
yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour. Dalam tataran praktis, pendidikan karakter merupakan
suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan
lingkungannya sehingga menjadi manusia paripurna (insa>n al-kami>l).
Secara filosofis,
terminologi pendidikan karakter, pendidikan moral, pendidikan etika, dan
pendidikan akhlak memiliki perbedaan, walaupun secara substansial, tidak
memiliki perbedaan yang prinsipil. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi
daripada pendidikan nilai lainnya karena bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa menjadi paham,
mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dari sudut pandang lain bisa
dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk
kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Oleh karena
itu, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter
(character education) bukan pendidikan moral (moral education).
Selanjutnya, pendidikan
holistik berbasis karakter dimaknai sebagai sebuah model pendidikan yang
memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat
menjadi manusia yang berkarakter. Model pendidikan ini menerapkan teori-teori
sosial, emosi, kognitif, fisik, moral, dan spiritual.
Kurikulum yang digunakan
dalam model pendidikan ini adalah kurikulum holistik berbasis karakter, yaitu
kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum
yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi,
keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Pendidikan holistik berbasis karakter merupakan
model pendidikan bidang character building (pembangunan karakter) yang
mempunyai visi membangun bangsa berkarakter melalui pengkajian dan pengembangan
pendidikan holistik dengan fokus penanaman nilai-nilai luhur universal yang
terangkum dalam 9 pilar karakter di bawah ini;
a.
Cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
b.
Tanggung jawab,
kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance,
discipline, orderliness)
c.
Kejujuran/amanah
dan arif (trustworthines, honesty, and tactful)
d.
Hormat dan santun
(respect, courtesy, obedience)
e.
Dermawan, suka
menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring, empathy,
generousity, moderation, cooperation)
f.
Percaya diri,
kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,
resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
g.
Kepemimpinan dan
keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
h.
Baik dan rendah
hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
i.
Toleransi,
kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Sembilan pilar karakter di
atas, menurut Prof. Suyatno, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan
holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan
acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab
pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus
ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa
mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau
melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu.
Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah
menjadi kebiasaan.
III
Penelitian kurikulum fiqih
MTs bisa dikaji dari rumusan standar kompetensi lulusan (SKL) dan Standar Isi
yang diberlakukan secara nasional. SKL merupakan standar kemampuan yang
ditetapkan untuk dicapai sebagai standar minimal satuan pendidikan, standar kompetensi
lulusan minimal untuk kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan
minimal mata pelajaran. Rumusan SKL mata pelajaran fiqih di tingkat MTs
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama nomor 2 tahun 2008 Bab I adalah, “Memahami
ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah mahd}ah dan muamalah
serta dapat mempraktikkan dengan benar
dalam kehidupan sehari-hari.”
Dilihat dari kata kerja
operasional (KKO) yang digunakan dalam rumusan SKL fiqih MTs di atas
menggunakan kata “memahami” dan “mempraktikkan”. Ini berarti bahwa berdasarkan
dua KKO yang digunakan (memahami dan mempraktikkan), penekanannya masih
terbatas pada ranah pengetahuan (kognisi) dan praktek (psikomotor), sementara
aspek sikap (afeksi) belum digunakan. Secara terperinci, analisis SKL Fiqih MTs
di atas bisa diperjelas sebagaimana berikut;
a.
Jika
dicermati, rumusan KKO SKL yang digunakan dengan sebaran materi yang ada, maka
nampak bahwa rumusan KKO SKL tersebut belum menggambarkan pemenuhan aspek sikap
(afeksi).
b.
Jika
dibandingkan dengan tujuan pembelajaran fiqih yang mencakup aspek pengetahuan,
sikap atau nilai moral (termasuk nilai moral) dan keterampilan serta nilai
spritual, maka rumusan SKL tersebut menjadi kurang lengkap, karena penekanannya
hanya terbatas pada aspek kognisi dan psikomotor.
c.
Rumusan SKL fiqih tersebut
seharusnya menghilangkan kecenderungan adanya dikotomi antara ibadah mahd}ah
dan ibadah ghairu mahd}ah, atau antara ibadah langsung dengan ibadah
sosial.
d.
Sepintas,
jika hanya mencermati hubungan rumusan SKL dengan SK di kelas VII sudah sangat
pas sekali, namun jika analisis ini dilajutkan pada rumusan SK pada kelas VIII
dan IX maka perbandingan antara rumusan SKL yang hanya tunggal (satu) dengan
sebaran materi yang luas menjadikan rumusan SKL sulit untuk disesuaikan dengan
tuntutan ketercapaian kompetensi secara utuh.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) merupakan bagian
dari Standar Isi sebuah mata pelajaran. Standar
Isi (SI) adalah isi materi minimal dan
tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam mata pelajaran fiqih MTs, terdapat
hanya 1 rumusan SKL dan dijabarkan menjadi 17 SK. Dari 7 rumusan SK yang
dikembangkan dari rumusan SKL untuk kelas VII, ruang lingkup kompetensi yang
ingin dicapai adalah penguasaan materi t}aha>rah dan shalat. Dari
semua poin SK, KKO yang digunakan adalah ”melaksanakan”. Ini menunjukkan bahwa
rumusan penjabaran SKL ke dalam Standar Kompetensi sudah mengarah pada wilayah
sikap.
Penggunaan KKO “melaksanakan”
memiliki indikasi kuat untuk membentuk pengamalan dan kebiasaan beribadah yang
kemudian bisa tertanam sikap ketekunan atau disiplin dalam beribadah, dan
pengembangan kecerdasan relijius. Dengan demikian, maka akan
tampak bahwa ketiga substansi dan proses psikologis knowing the good,
desiring the good, and doing the good bermuara pada kehidupan moral dan
kematangan moral individu. Dengan kata lain, internalisasi karakter bisa
dijadikan sebagai pembentuk kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu
kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren
memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga, dan perpaduan
olah rasa dan karsa.
Dari 33 Kompetensi Dasar (KD) kelas VII MTs dapat dianalisis bahwa
KKO KD yang berjumlah 33 KD yang digunakan dalam materi fiqih kelas VII di semua
semester justru nampak sekali bahwa hanya ada upaya untuk menanamkan aspek
kognitif dan motorik semata tanpa ada perhatian penuh pembentukan sikap pada
sisi afektif. Padahal, kunci keberhasilan pembelajaran fiqih MTs sebenarnya
sangat ditentukan oleh ketercapaian target materi yang mendorong perkembangan
siswa, tidak hanya pada tiga ranah Bloomian (kognitif, afektif dan psikomorik),
tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh kebutuhan dan potensi yang dimiliki
peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik,
kreatif, dan spiritual dan ranah kecerdasan lainnya secara terpadu. Jika dalam
mata pelajaran aqidah-akhlak terdapat kompetensi semisal “menghayati, terbiasa/
membiasakan, mencintai” yang termasuk ranah afeksi, maka sangatlah mungkin
dalam mata pelajaran fiqih dimasukkan kompetensi afektif.
Pendidikan holistik berbasis karakter dalam penerapannya
menggunakan pendekatan pengalaman belajar yang menyenangkan dan inspiratif
untuk siswa dengan tiga metode pembelajaran, yakni inquiry-based learning,
collaborative and cooperative learning dan integrated learning.
a.
Collaborative learning adalah
metode yang melibatkan siswa dalam diskusi dalam upaya untuk mencari jawaban
atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Implementasi collaborative
learning dapat dilakukan metode cooperative learning, yaitu siswa
bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam kelompok kecil dan melakukan tugas
yang sudah terstruktur. Contoh model pembelajaran dengan metode collaborative
learning misalnya kegiatan belajar shalat berjamaah. Melalui kegiatan yang
dilakukan itu, maka antara siswa satu dengan siswa yang lain akan selalu
terkait dan mereka akan terbiasa membantu dan memberikan informasi jika ada
siswa yang kurang memahami materi yang diberikan oleh guru.
b.
Inquiry-Based Learning atau
dalam terjemahan bahasa Indonesianya adalah pendekatan yang merangsang minat
anak atau rasa keingintahuan anak, baik dalam bentuk pertanyaan, keingintahuan,
dan keinginan untuk mencoba atau membuat eksperimen. Inquiry-based leaning bisa
dilakukan misalnya dengan memasukkan bahasan tatacara bersuci (t}aha>rah)
pada kegiatan belajar mengajar. Siswa akan lebih tertarik jika materi atau
topik yang disampaikan oleh guru ada di kehidupan sekitarnya. Terutama jika
guru mengadakan eksperimen langsung (turun lapang) untuk mengetahui segala
sesuatu yang berkaitan dengan tatacara bersuci (t}aha>rah). Pada
kegiatan eksperimen tersebut, siswa akan menggali banyak informasi tatacara
bersuci (t}aha>rah) tersebut. Dengan demikian, prinsip yang ada pada
pendidikan holistik, yakni connectedness dan being ada dalam model
pendidikan ini.
c.
Integrated Learning atau
pembelajaran terintegrasi/ terpadu merupakan suatu pembelajaran yang memadukan
berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah
agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lain, antara
satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Salah satu contoh yang dapat
dilakukan dalam mengimplementasikan model pembelajaran ini misalnya guru
menggunakan tema shalat dalam kegiatan belajar mengajar yang sedang terjadi.
Hanya dengan satu tema saja, yakni shalat, guru bisa menjelaskan berbagai mata
pelajaran yang ada, misalnya pada mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial guru
bisa menjelaskan bagaimana persatuan antar masyarakat, pada mata pelajaran
kewarganegaraan guru bisa menjelaskan ketaatan menjalankan ajaran agama,
demokrasi, NKRI, ketaatan pada hukum negara dan Undang-Undang negara, saling
menghargai, kebhinnekaan, kejujuran, dan sebagainya. Pada mata pelajaran ilmu
pengetahuan alam guru bisa menjelaskan mengenai kebersihan air untuk bersuci
sebelum shalat, dan pada pelajaran olah raga guru bisa menjelaskan hidup sehat
dengan gerak-gerak dalam shalat dan kedisiplinan. Dua prinsip pendidikan
holistik ada dalam model pembelajaran ini, yaitu: wholeness dan connectedness.
0 komentar:
Posting Komentar