Senin, 26 Maret 2012

Resume tesis: Pendidikan Karakter pada pembelajaran fiqih

Unknown


KURIKULUM PEMBELAJARAN FIQIH MADRASAH TSANAWIYAH PERSPEKTIF PENDIDIKAN HOLISTIK BERBASIS KARAKTER
(Upaya Pembangunan Karakter Bangsa)

Akh. Syaiful Rijal

I
Pendidikan merupakan sarana yang sangat tepat dalam membangun watak bangsa (national character building). Dekadensi moral masyarakat sebagai efek dari kekurang-berhasilan pendidikan saat ini dapat kita temui, baik secara langsung maupun lewat media cetak, elektronik, maupun internet. Sekedar contoh, korupsi, kekerasan, tindak asusila, budaya hedonisme, kenakalan remaja, money politic, kebohongan publik, tawuran antar pelajar, seks bebas, dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin negeri ini telah banyak mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Gejala kebobrokan sebuah bangsa sempat juga diungkapkan oleh Thomas Lickona, disebutkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada maka sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, (3) pengaruh peer-group (gerombolan) dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) rasa saling curiga dan benci antar sesama.
Masalah lain, selain sepuluh tanda-tanda zaman tersebut, yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal jika dikaji lebih mendalam, mata pelajaran fiqih sebagai bagian dari pendidikan agama Islam, pada khususnya, sangat relevan sekali untuk menjawab tantangan kemerosotan karakter di atas, karena pada dasarnya pelajaran fiqih merupakan suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup manusia, baik yang bersifat individu maupun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Menurut Syaifuddin Sabda, pilihan pada paradigma pendidikan holistik, apalagi yang mengarah pada pembentukan karakter bangsa, adalah sebuah keniscayaan karena sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 3. Dari pasal 3 tersebut, hanya kalimat ”mengembangkan kemampuan” yang berkaitan dengan konten ilmu pengetahuan sebagai hard-skills, selebihnya berkaitan dengan pembentukan watak, keterampilan serta kreativitas, berakhlak dan demokratis yang tiada lain adalah soft-skills.
Dalam tesis ini penulis membatasi pada analisis konsep pendidikan holistik berbasis karakter terhadap kurikulum pembelajaran fiqih Madrasah Tsanawiyah yang direpresentasikan pada pembelajaran fiqih kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Kurikulum di sini tertuju pada analisis standar kompetensi lulusan (SKL) fiqih madrasah tsanawiyah dan standar isi (SI) berupa standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang berlaku secara nasional pada pembelajaran fiqih kelas VII yang tercantum dalam PERMENAG nomor 2 tahun 2008 tentang SKL dan SI PAI dan Bahasa Arab di Madrasah.
Jenis penelitian dalam tulisan ini termasuk kajian pustaka (library research) dengan pendekatan deskriptif-analitis-kritis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumenter, dan metode yang dapat dipakai dalam menganalisis data akan menggunakan metode deskriptif dan conten analisis.
II
Pendidikan holisitik berbasis karakter merupakan bagian dari model pengembangan pendidikan holistik yang pendekatannya dikhususkan pada pembangunan karakter dalam diri siswa. Pendidikan holistik sendiri adalah suatu metode pendidikan dalam membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Dalam implementasinya, spiritualitas dapat dipadukan secara sinergis dengan religiusitas secara holistik tanpa perlu mereduksi universalitas dan transendensi dari spiritualitas itu sendiri.
Pendidikan  karakter didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour. Dalam tataran praktis, pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan lingkungannya sehingga menjadi manusia paripurna (insa>n al-kami>l).
Secara filosofis, terminologi pendidikan karakter, pendidikan moral, pendidikan etika, dan pendidikan akhlak memiliki perbedaan, walaupun secara substansial, tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan nilai lainnya karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education).
Selanjutnya, pendidikan holistik berbasis karakter dimaknai sebagai sebuah model pendidikan yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang berkarakter. Model pendidikan ini menerapkan teori-teori sosial, emosi, kognitif, fisik, moral, dan spiritual.
Kurikulum yang digunakan dalam model pendidikan ini adalah kurikulum holistik berbasis karakter, yaitu kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Pendidikan holistik berbasis karakter merupakan model pendidikan bidang character building (pembangunan karakter) yang mempunyai visi membangun bangsa berkarakter melalui pengkajian dan pengembangan pendidikan holistik dengan fokus penanaman nilai-nilai luhur universal yang terangkum dalam 9 pilar karakter di bawah ini;
a.       Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
b.      Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
c.       Kejujuran/amanah dan arif (trustworthines, honesty, and tactful)
d.      Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)
e.       Dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
f.        Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
g.      Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
h.      Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
i.        Toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Sembilan pilar karakter di atas, menurut Prof. Suyatno, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

III
Penelitian kurikulum fiqih MTs bisa dikaji dari rumusan standar kompetensi lulusan (SKL) dan Standar Isi yang diberlakukan secara nasional. SKL merupakan standar kemampuan yang ditetapkan untuk dicapai sebagai standar minimal satuan pendidikan, standar kompetensi lulusan minimal untuk kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran. Rumusan SKL mata pelajaran fiqih di tingkat MTs yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama nomor 2 tahun 2008 Bab I adalah, “Memahami ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah mahd}ah dan muamalah serta dapat mempraktikkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.”
Dilihat dari kata kerja operasional (KKO) yang digunakan dalam rumusan SKL fiqih MTs di atas menggunakan kata “memahami” dan “mempraktikkan”. Ini berarti bahwa berdasarkan dua KKO yang digunakan (memahami dan mempraktikkan), penekanannya masih terbatas pada ranah pengetahuan (kognisi) dan praktek (psikomotor), sementara aspek sikap (afeksi) belum digunakan. Secara terperinci, analisis SKL Fiqih MTs di atas bisa diperjelas sebagaimana berikut;
a.         Jika dicermati, rumusan KKO SKL yang digunakan dengan sebaran materi yang ada, maka nampak bahwa rumusan KKO SKL tersebut belum menggambarkan pemenuhan aspek sikap (afeksi).
b.        Jika dibandingkan dengan tujuan pembelajaran fiqih yang mencakup aspek pengetahuan, sikap atau nilai moral (termasuk nilai moral) dan keterampilan serta nilai spritual, maka rumusan SKL tersebut menjadi kurang lengkap, karena penekanannya hanya terbatas pada aspek kognisi dan psikomotor.
c.         Rumusan SKL fiqih tersebut seharusnya menghilangkan kecenderungan adanya dikotomi antara ibadah mahd}ah dan ibadah ghairu mahd}ah, atau antara ibadah langsung dengan ibadah sosial.
d.        Sepintas, jika hanya mencermati hubungan rumusan SKL dengan SK di kelas VII sudah sangat pas sekali, namun jika analisis ini dilajutkan pada rumusan SK pada kelas VIII dan IX maka perbandingan antara rumusan SKL yang hanya tunggal (satu) dengan sebaran materi yang luas menjadikan rumusan SKL sulit untuk disesuaikan dengan tuntutan ketercapaian kompetensi secara utuh.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) merupakan bagian dari Standar Isi sebuah mata pelajaran. Standar Isi (SI) adalah isi  materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam mata pelajaran fiqih MTs, terdapat hanya 1 rumusan SKL dan dijabarkan menjadi 17 SK. Dari 7 rumusan SK yang dikembangkan dari rumusan SKL untuk kelas VII, ruang lingkup kompetensi yang ingin dicapai adalah penguasaan materi t}aha>rah dan shalat. Dari semua poin SK, KKO yang digunakan adalah ”melaksanakan”. Ini menunjukkan bahwa rumusan penjabaran SKL ke dalam Standar Kompetensi sudah mengarah pada wilayah sikap.
Penggunaan KKO “melaksanakan” memiliki indikasi kuat untuk membentuk pengamalan dan kebiasaan beribadah yang kemudian bisa tertanam sikap ketekunan atau disiplin dalam beribadah, dan pengembangan kecerdasan relijius. Dengan demikian, maka akan tampak bahwa ketiga substansi dan proses psikologis knowing the good, desiring the good, and doing the good bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, internalisasi karakter bisa dijadikan sebagai pembentuk kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, oleh raga, dan perpaduan olah rasa dan karsa.
Dari 33 Kompetensi Dasar (KD) kelas VII MTs dapat dianalisis bahwa KKO KD yang berjumlah 33 KD yang digunakan dalam materi fiqih kelas VII di semua semester justru nampak sekali bahwa hanya ada upaya untuk menanamkan aspek kognitif dan motorik semata tanpa ada perhatian penuh pembentukan sikap pada sisi afektif. Padahal, kunci keberhasilan pembelajaran fiqih MTs sebenarnya sangat ditentukan oleh ketercapaian target materi yang mendorong perkembangan siswa, tidak hanya pada tiga ranah Bloomian (kognitif, afektif dan psikomorik), tetapi menuntut untuk memperhatikan seluruh kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual dan ranah kecerdasan lainnya secara terpadu. Jika dalam mata pelajaran aqidah-akhlak terdapat kompetensi semisal “menghayati, terbiasa/ membiasakan, mencintai” yang termasuk ranah afeksi, maka sangatlah mungkin dalam mata pelajaran fiqih dimasukkan kompetensi afektif.
Pendidikan holistik berbasis karakter dalam penerapannya menggunakan pendekatan pengalaman belajar yang menyenangkan dan inspiratif untuk siswa dengan tiga metode pembelajaran, yakni inquiry-based learning, collaborative and cooperative learning dan integrated learning.
a.       Collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi dalam upaya untuk mencari jawaban atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Implementasi collaborative learning dapat dilakukan metode cooperative learning, yaitu siswa bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur. Contoh model pembelajaran dengan metode collaborative learning misalnya kegiatan belajar shalat berjamaah. Melalui kegiatan yang dilakukan itu, maka antara siswa satu dengan siswa yang lain akan selalu terkait dan mereka akan terbiasa membantu dan memberikan informasi jika ada siswa yang kurang memahami materi yang diberikan oleh guru.
b.      Inquiry-Based Learning atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya adalah pendekatan yang merangsang minat anak atau rasa keingintahuan anak, baik dalam bentuk pertanyaan, keingintahuan, dan keinginan untuk mencoba atau membuat eksperimen. Inquiry-based leaning bisa dilakukan misalnya dengan memasukkan bahasan tatacara bersuci (t}aha>rah) pada kegiatan belajar mengajar. Siswa akan lebih tertarik jika materi atau topik yang disampaikan oleh guru ada di kehidupan sekitarnya. Terutama jika guru mengadakan eksperimen langsung (turun lapang) untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan tatacara bersuci (t}aha>rah). Pada kegiatan eksperimen tersebut, siswa akan menggali banyak informasi tatacara bersuci (t}aha>rah) tersebut. Dengan demikian, prinsip yang ada pada pendidikan holistik, yakni connectedness  dan being ada dalam model pendidikan ini.
c.       Integrated Learning atau pembelajaran terintegrasi/ terpadu merupakan suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lain, antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Salah satu contoh yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan model pembelajaran ini misalnya guru menggunakan tema shalat dalam kegiatan belajar mengajar yang sedang terjadi. Hanya dengan satu tema saja, yakni shalat, guru bisa menjelaskan berbagai mata pelajaran yang ada, misalnya pada mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial guru bisa menjelaskan bagaimana persatuan antar masyarakat, pada mata pelajaran kewarganegaraan guru bisa menjelaskan ketaatan menjalankan ajaran agama, demokrasi, NKRI, ketaatan pada hukum negara dan Undang-Undang negara, saling menghargai, kebhinnekaan, kejujuran, dan sebagainya. Pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam guru bisa menjelaskan mengenai kebersihan air untuk bersuci sebelum shalat, dan pada pelajaran olah raga guru bisa menjelaskan hidup sehat dengan gerak-gerak dalam shalat dan kedisiplinan. Dua prinsip pendidikan holistik ada dalam model pembelajaran ini, yaitu: wholeness dan connectedness.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Teknologi

Resources